Bayang-Bayang Impunitas di Kasus Jalan Parigi Moutong: Mengapa ULP dan Plt Kadis PUPRP Tak Tersentuh Kejati Sulteng?

Parigi Moutong, Seperdetik – Penanganan perkara dugaan korupsi proyek peningkatan jalan di Kabupaten Parigi Moutong oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng) kian menuai tanda tanya besar. Publik mempertanyakan arah penyidikan yang dinilai belum menyentuh aktor-aktor kunci di balik proses perencanaan, pengadaan, hingga pencairan anggaran, khususnya Bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas PUPRP Parigi Moutong.

Tiga proyek peningkatan jalan bernilai puluhan miliar rupiah yang kini disidik Kejati Sulteng diketahui dimenangkan oleh dua perusahaan yang sama. Namun, penetapan tersangka hingga saat ini masih terbatas pada pihak kontraktor, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta Mantan Kepala Dinas PUPRP yang diduga menerima Gratifikasi, sementara pejabat pengambil kebijakan dan pengendali sistem pengadaan belum tersentuh.

Proyek Bernilai Fantastis, Pola Pemenang Seragam

Berdasarkan dokumen pengadaan, proyek-proyek tersebut meliputi Peningkatan Jalan Gio – Tuladengi, dimenangkan PT Rizal Nugraha Membangun (PT RNM) dengan nilai kontrak Rp9.117.768.248,54 dan peningkatan Jalan Pembuni – Bronjong, senilai Rp7.143.861.178,71.

Sementara peningkatan jalan Trans Bimoli – Pantai, dimenangkan CV Fita Menui Lemboano Reangku (CV FMLR) senilai Rp4.733.662.337,07.

Dalam konstruksi perkara yang berjalan, Kejati Sulteng menetapkan IS (kontraktor) dan SA (PPK) sebagai tersangka di dua proyek, sementara pada proyek Trans Bimoli–Pantai, tersangka ditetapkan terhadap NM (kontraktor) dan SA (PPK) dan HB (Ex Kadis PUPRP Parimo.

Namun, publik menilai penyidikan ini janggal karena seolah berhenti pada level teknis pelaksanaan, tanpa menelusuri aktor strategis yang berperan dalam pengondisian tender dan pengambilan keputusan anggaran.

Tender Sarat Kejanggalan: Penawaran “Buangan” di Bawah Satu Persen

Sejumlah sumber menyebutkan bahwa ketiga proyek dimenangkan dengan selisih penawaran yang sangat rendag dari pagu anggaran. Bahkan, rata-rata nilai penawaran hanya sekitar Rp30 juta, atau di bawah satu persen.

Pola ini memunculkan dugaan kuat adanya pengaturan tender secara sistematis. Indikasi tersebut diperkuat dengan dugaan setoran Rp500 juta sebagai “pelicin” agar perusahaan tertentu ditetapkan sebagai pemenang.

Dugaan ini mengarah pada peran HB, yang saat itu menjabat Kepala Dinas PUPRP Parigi Moutong, bersama Bagian ULP dan Pokja sebagai unit pelayanan pengadaan barang dan jasa yang diduga mengondisikan hasil lelang sejak tahap awal.

Kebocoran HPS : Fakta BPK yang Tak Terbantahkan

Lebih serius lagi, menurut sumber bahwa hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara eksplisit mengungkap adanya kebocoran Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan Kerangka Acuan Kerja (KAK). Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa mantan Kepala Dinas PUPRP Parigi Moutong berinisial HB diduga membocorkan HPS kepada pihak PT RNM dan CV FMLR agar diarahkan sebagai pemenang tender.

Padahal, sesuai regulasi pengadaan barang dan jasa, HPS dan KAK bersifat rahasia, dan ULP/Pokja memiliki kewajiban memastikan proses lelang berjalan adil, transparan, serta kompetitif.

Fakta kebocoran HPS ini seharusnya menjadi pintu masuk utama untuk menjerat pihak-pihak yang berperan di tahap perencanaan dan pengadaan. Namun hingga kini, Kejati Sulteng belum menetapkan satu pun tersangka dari unsur ULP maupun pejabat lain.

Mutu Aspal Bermasalah, Peringatan Diabaikan

Fakta lain yang tak kalah krusial terungkap dari proses teknis pekerjaan di lapangan. Dalam sebuah rapat resmi yang dihadiri PPTK, PPK, dan Kepala Dinas, sebelum pelaksanaan penghamparan produk Asphalt Mixing Plant (AMP), pihak pengawasan telah memberikan peringatan tegas bahwa aspal yang akan digunakan tidak sesuai Job Mix Formula (JMF).

Aspal tersebut dinilai memiliki daya lekat lemah dan tidak memenuhi spesifikasi mutu. Meski demikian, penghamparan tetap dilakukan dengan volume mencapai sekitar 40 ton, dengan alasan dari pihak kontraktor bahwa produk AMP sudah terlanjur dipesan dan jika tidak digunakan, tidak jelas siapa yang akan menanggung biayanya.

Padahal, secara aturan, PPTK yang saat itu di pegang oleh Kabid Bina Marga, I Wayan Mudana memiliki kewenangan penuh untuk mempertimbangkan pekerjaan apabila material atau mutu pekerjaan tidak sesuai spesifikasi teknis yang dipersyaratkan dalam kontrak.

Pencairan 100 Persen yang Dipaksakan

Ironisnya, sumber lain menyebut, meski telah ada peringatan terkait kualitas AMP, Nyoman Adi Susmanta selaku Plt Kepala Dinas PUPRP Parigi Moutong sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tetap melanjutkan proses pencairan anggaran 100 persen setelah penandatanganan Provisional Hand Over (PHO).

Fakta lapangan menunjukkan bahwa kualitas AMP yang tidak sesuai JMF telah diketahui sebelum pencairan dilakukan. Namun, pembayaran penuh tetap direalisasikan. Bahkan, muncul dugaan kuat bahwa pasca pergantian kepala dinas, proyek-proyek ini sengaja “diamankan” agar menjadi beban dan tanggung jawab pejabat berikutnya.

Seluruh pejabat teknis yang terlibat mulai dari PPK, PPTK, hingga Kepala Dinas selaku pejabat teknis kegiatan diduga mengetahui persoalan mutu pekerjaan, namun memilih membiarkan pekerjaan tetap berjalan dan dicairkan penuh.

Pertanyaan Besar untuk Kejati Sulteng

Rangkaian fakta ini semakin menguatkan kesan bahwa penegakan hukum belum menyentuh akar persoalan. Publik mempertanyakan keberanian dan konsistensi Kejati Sulteng dalam membongkar dugaan korupsi secara menyeluruh.

Tanpa menyeret ULP, Pokja, PPTK serta pejabat pengambil kebijakan di Dinas PUPRP, penanganan perkara ini dikhawatirkan hanya akan menjadi penegakan hukum setengah hati dan menyisakan ruang impunitas bagi aktor intelektual yang diduga berada di balik layar.

Kasus ini bukan sekadar soal jalan rusak dan kerugian negara mencapai miliaran rupiah, melainkan ujian serius terhadap integritas sistem pengadaan dan keberanian aparat penegak hukum untuk menyentuh pihak-pihak yang selama ini kerap dianggap kebal hukum.

Penulis: Boby MonarehEditor: Bamgkit